Saat semua pertanyaan yang sering saya ajukan di sidang skripsi mahasiswa akhirnya ditanyakan ke saya.
Ini cerita tentang pengalaman saya wawancara beasiswa. Setelah beberapa kali melamar beasiswa, akhirnya ada juga yang nyantol sampai tahap wawancara. Begitu senangnya saya mendapatkan kesempatan ini sampai-sampai semua informasi saya kumpulkan, susun kemungkinan pertanyaan dan jawaban, serta latihan. Indeed, practice makes perfect. Ini kesempatan besar dan saya tidak boleh gagal hanya karena kurang persiapan, begitu pikir saya waktu itu.
Sebagai dosen Universitas Paramadina (boleh dong bangga ama institusi sendiri), saya cukup diuntungkan karena kolega saya adalah alumni Amerika dengan beasiswa Fulbright. Kolega saya ini juga pada baik hati semua, mulai dari mengoreksi proposal, koreksi study objective dan personal statement, koreksi bahasa Inggris dan simulasi wawancara semuanya pada bantuin saya. Rektor saya yang ganteng juga nggak ketinggalan mendukung dengan menuliskan reference letter. Alhamdulillah, Allah membantu melalui tangan kolega-kolega saya yang baik hati (dan tidak sombong).
Setelah konsul ke sana ke mari dan membaca semua blog tentang wawancara beasiswa fulbright, saya simpulkan bahwa sebenarnya dalam interview paling penting menunjukkan positioning dan visi kita. Kalau saya adalah dosen di Ilmu Komunikasi, maka pembeda saya dengan yang lain apa, apa tujuan saya, dan bagaimana study PhD ini akan berperan dalam mencapai tujuan saya. Intinya sih itu kayaknya. Dan sebagian besar blogger itu nulis kalau nggak usah khawatir sama wawancara karena biasanya hanya ngobrol-ngorbol aja.
Oh iya, Sama satu lagi waktu saya diskusi dengan teman saya yang juga menjadi interviewer beasiswa ini, dia bilang saya harus bisa mempertahankan bahwa penelitian ini penting dilakukan. Dan hanya saya yang bisa melakukannya. Tsaaahhhhh.. lebay abis sih, tapi bener juga sih.. Lah kalau ada dua orang dengan topik yang mirip tapi jagoan dia, trus kenapa harus saya gitu yang dipilih.
Akhirnya, hari interview pun datang. Saya lupa tepatnya kapan, tapi yang jelas itu bulan Juli. Saya diantar Nala ke sebuah hotel di daerah Kuningan. Di sana sudah ada beberapa orang yang mau interview. Seperti nasehat temen saya, pas di tempat wawancara upayakan mingle dengan peserta lain untuk menunjukkan bahwa Anda adalah pribadi yang easy going. Well, sebenernya sih ngobrol dengan peserta lain juga membantu menghilangkan perasaan deg-deg-an dan nervous. Pas pintu ruang wawancara kebuka sempet ngelihat di dalam ada dua panel, dimana salah satu panelnya ada temen saya yang artinya juga nggak mungkin saya diwwcr sama dia. Di panel yang lain saya lihat ada satu orang bule dan dua orang Indonesia (dua-duanya keturunan Chinese). Salah satunya sempat keluar ke kamar kecil. Kamu tahu Yohannes Surya? Nah! Perawakannya sama kayak Yohanes Surya (agak cupu juga kayak prof Surya), tapi si bapak ini lebih pendek dikit dan pas keluar menebar senyum. Alhamdulillah pikir saya interviernya ramah.
Dan.. akhirnya dipanggillah saya ke dalam ruangan wawancara. Ada empat orang panelnya, tiga orang yang tadi dan satu orang lagi dari Aminef Indonesia. Jadi, posisi duduknya kayak gini: professor Chinese (prof 1), Bule Amrik (Bule), Professor Chinese (The smiling Prof) yang keluar tadi, dan satu lagi sy kurang tau siapa (kayaknya org aminef deh). Bapak yang orang Aminef meminta saya memperkenalkan diri.
Bapak Aminef: We don’t have much time. You only have five minutes.
Me: (Whatttttt???!!!) Okay. My name is Ika, I’m a lecturer at Paramadina University…
The smiling prof: (masih dengan senyumnya) We knew that. Why don’t you just tell us about your research. Continue reading